Jumat, 20 Februari 2015

Kaki Naga Ikan

makalah diversifikasi perikanan

BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar belakang

Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang sangat baik dan potensial untuk memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat. Beberapa jenis ikan mengandung omega 3 yang berfungsi untuk pertumbuhan otak manusia. Sedangkan protein yang dihasilkan dari ikan merupakan salah satu elemen penting bagi kesehatan tubuh manusia. Pemanfaatan daging ikan sebagai sumber protein bagi manusia sangat digalakkan. Selain dalam bentuk daging ikan yang langsung dapat dikonsumsi, daging ikan juga dapat diolah menjadi pasta daging ikan (Fish Jelly Product) atau dalam bahasa jepang disebut kamaboko. Pasta daging ikan selanjutnya dapat diolah menjadi berbagai makanan olahan lanjutan seperti bakso ikan, surimi, nugget, otak-otak dan kaki naga. Kaki naga merupakan hasil olahan yang cukup digemari yang saat ini tengah dikembangkan oleh masyarakat perikanan. Karena kaki naga merupakan diversifikasi dari kamaboko yang merupakan bahan untuk surimi. Maka kaki naga dapat mengikuti SNI surimi, berdasarkan SNI Nomor 01–2693-1992, maka kaki naga adalah diversifikasi dari kamaboko, yang memiliki standar mutu dengan elastisitas berkisar antara 26,73% - 65,66%; kadar abu antara 0,44% – 0,69%; kadar protein antara 10,44% - 16,40%; dan kadar lemak antara 0,09% - 0,55%.
Kaki naga merupakan makanan hasil perikanan favorit semua kalangan masyarakat di Jakarta. Mengingat masyarakat Jakarta umumnya menyukai makanan yang praktis dan cepat saji. Keberagaman produk hasil olahan perikanan menjadikan konsumsi ikan di masyarakat menjadi semakin meningkat. Satu perusahaan umumnya memproduksi satu macam produk kaki naga karena produk tersebut menggunakan bahan baku utama yang sama berupa fillet ikan kerapu (Epinephelus sp). Bahan baku fillet lainnya yang dapat dijadikan bahan baku otak-otak dan kaki naga adalah fillet dari ikan mata goyang dan ikan mata besar. Namun yang paling banyak dipakai pengusaha untuk otak-otak dan kaki naga adalah fillet dari ikan kerapu (Epinephelus sp).

2 Tujuan
Adapun beberapa tujuan penyusunan makalah ini, antara lain:
1. Untuk menyelesaikan salah tugas mata kulia
2. Menambah pengetahuan tentang pengembangan produk perikanan
3. Melatih Mahasiswa dalam menganalisa permasalahan, khususnya Pengolahan Hasil perikanan.












BAB II
KARAKTERISTIK BAHAN BAKU & PRODUK


1. Karakteristik Bahan Baku
Proses produksi pembuatan kaki naga ikan dimulai dari penerimaan bahan baku berupa fillet ikan. Adapun filet ikan yang digunakan ialah ikan kerapu (Epinephelus sp) umumnya dikenal dengan istilah "groupers". Menurut Suzuki (1981) komposisi ikan segar per 100 gram bahan adalah kandungan air 66% – 68%; protein 15% – 24%; lemak 0,1% – 22%; mineral dan vitamin 2,52% - 4,50%; karbohidrat 1% – 3%; bahan organik 0,8% – 2%; dan edible position 45% – 50%. Ikan kerapu mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan untuk dibudidayakan karena pertumbuhannya cepat dan dapat diproduksi secara massal untuk melayani permintaan pasar ikan kerapu dalam keadaan hidup. Adanya perubahan selera konsumen dari ikan mati atau beku kepada ikan dalam keadaan hidup, telah mendorong masyarakat untuk memenuhi permintaan pasar ikan kerapu melalui usaha budidaya. Budidaya ikan kerapu telah dilakukan dibeberapa tempat di Indonesia, namun dalam proses pengembangannya masih menemui kendala karena keterbatasan benih. Selama ini para petani nelayan masih mengandalkan benih alam yang sifatnya musiman. Namun sejak tahun 1993, ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) sudah dapat dibenihkan. Balai Budidaya Laut Lampung sebagai Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan telah melakukan upaya untuk menghasilkan benih melalui pembenihan buatan manipulasi lingkungan dan penggunaan hormon.
2. Karakteristik Bahan Penunjang

Bahan penunjang dari produk kaki naga ialah bahan adonan yang digabungkan dengan bahan baku yaitu fillet ikan. Bahan baku yang dibutuhkan untuk membuat adonan kaki naga, antara lain tepung terigu, maizena, susu dan telur untuk bahan pengikat Sedangkan untuk bumbu kaki naga, yaitu garam, gula, bawang bombay, bawang putih, dan merica. Bahan lain yang digunakan dalam proses pemasakan/penggorengan yaitu minyak sayur.

3. Karakteristik Produk
Bahan baku untuk membuat kaki naga berupa fillet ikan. Fillet ikan yang baik untuk bahan baku pembuatan kaki naga sebaiknya memiliki tekstur daging kenyal dan berwarna putih. Untuk menjaga kestabilan rasa dan tidak cepat basi, maka pembuatan otak-otak dan kaki naga harus menggunakan bahan baku yang segar serta bahan-bahan pembantu yang berkualitas, diolah dengan higienis serta formulasi yang standar. Setiap periode tertentu sebaiknya perlu dilakukan uji laboratorium, untuk lebih meyakinkan kualitas mutu produk. Standar mutu yang bagus yaitu: elastisitas berkisar antara 26,73% - 65,66%, kadar abu antara 0,44% – 0,69%, kadar protein antara 10,44% - 16,40%, dan kadar lemak antara 0,09% - 0,55%.
4 Pemanfaatan Produk

Produk kaki naga merupakan salah satu bentuk diversifikasi produk hasil pertanian, terutama perikanan. Biasanya kaki naga dimanfaatkan sebagai makanan penunjang atau pelengkap dari makanan pokok. Kaki naga yang praktis serta cepat disajikan dan kaya akan kandungan gizi menyebabkan makanan ini banyak digemari baik dari anak kecil hingga orang dewasa. Selain itu produk ini sifatnya gurih sehingga dapat membantu mereka menambah nafsu makan, dengan bentuk yang menarik membuat produk ini menarik konsumen untuk membelinya.


BAB II
SELEKSI DAN URAIAN PROSES


A. Uraian Proses Secara Umum
Proses produksi pembuatan kaki naga ikan dimulai dari penerimaan bahan baku berupa fillet ikan yang masih segar, kemudian dilanjutkan dengan proses penggilingan fillet ikan hingga berbentuk pasta, pengadukan adonan dengan penambahan bahan baku lainnya, pemasakan, pencetakan menggunakan tangan dan sendok atau garpu, penggorengan secara deep frying, penirisan di meja penirisan, batter, breading, ditusuk dengan sumpit, pengemasan, dan pembekuan.
A. Seleksi Bahan Baku

Bahan baku dalam pembuatan kaki naga adalah fillet ikan. Dalam pemilihan bahan baku filet, dapat dibuat dari beberapa jenis ikan, namun jenis ikan yang lebih baik digunakan ialah ikan kerapu. Ikan kerapu merupakan ikan yang sangat digemari oleh konsumen dan ikan tersebut mudah dibudidayakan. Tingginya potensi dan kuantitas dari ikan kerapu menjadikan suatu tantangan dalam mengembangkan potensi ikan kerapu. Selain itu bila ditinjau dari aspek ekonomis, harga jual dari ikan kerapu rendah dan belum sebanding dengan pembudidayaan ikan. Filet ikan digunakan dalam pembuatan kaki naga sebagai bahan baku. Pemilihan bahan baku dengan menggunakan akan kerapu merupakan salah satu pemilihan yang tepat. Dikatakan demikian karena melihat harga jual produk segar ikan kerapu dengan harga jual rendah dan ketersediaan bahan baku yang baik. Dengan karakteristik bahan baku yang mudah rusak (busuk) dan harga jual rendah dibutuhkan teknologi pengolahan yang tepat. Salah satu upaya untuk hal tersebut ialah dengan teknologi pengolahan ikan berbasis surimi dalam bentuk kaki naga. Dimana dengan pengolahan ikan menjadi kaki naga dapat meningkatkan nilai jual ikan, memperpanjang umur simpan ikan. Adanya alternatif pengolahan ikan kerapu menjadi produk kaki naga tentunya dapat meningkatkan harga jual dari ikan kerapu sendiri.
B. Macam Proses

1. Fillet Ikan

Fillet ikan merupakan bahan baku utama. Fillet ikan yang baru diterima dimasukkan dalam ember atau bak penampungan dan diberi es fillet tetap segar dan tidak mengeras.
2. Penggilingan

Daging ikan Fillet yang sudah dicuci kemudian dimasukan ke dalam grinder untuk digiling sehingga berbentuk pasta. Pada saat penggilingan harus diberikan garam secukupnya. Garam diberikan pada awal penggilingan berguna untuk meningkatkan kerekatan pasta ikan. Jika dilakukan pada akhir penggilingan sifat kerekatan pasta akan menurun.
3. Pengadonan

Daging yang sudah berbentuk pasta dimasukkan ke dalam food processor untuk dilakukan pengadonan dengan penambahan bahan baku lainnya seperti tepung terigu,
maizena, susu dan telur yang berguna untuk menjaga kualitas kekenyalan kaki naga,kemudian adonan dimasukan bumbu berupa garam, gula, bawang bombay,bawang putih dan merica yang sudah dihaluskan sebelumnya. Waktupengadonan dilakukan selama 43 menit agar dapat menghasilkan adonan yang
betul-betul homogen. Hasil adonan yang telah selesai dimasukkan ke dalam emberbesar untuk dilakukan pencetakan.



4. Pencetakan

Pencetakkan adonan digunakan menggunakan tangan dan sendok atau garpu. Proses pencetakkan berlangsung cepat, adonan yang telah dicetak langsung dimasukan ke dalam penggorengan untuk dimasak.
5. Pemasakan
Pemasakan adonan dilakukan di atas penggorengan, adonan yang telah dicetak kemudian dimasak dengan menggunakan minyak sayur yang telah dicampur dengan air dengan suhu yang tidak terlalu panas (deep fat frying). Adonan harus terendam minyak, proses pemasakan berlangsung sampai kaki naga matang sekitar 70% - 80%.
6. Penirisan
Penirisan dilakukan untuk mendinginkan kaki naga dan mengurangi kadar minyak yang terdapat dalam otak-otak setelah dimasak. Penirisan dilakukan di meja penirisan yang berukuran 2 meter x 1 meter. Pada bagian lebar meja penirisan dipasang kipas yang berguna untuk mempercepat proses penirisan.
7. Penggulingan dalam Batter
Penggulingan dalam batter dilakukan setelah penirisan, dengan tujuan untuk menambah rasa gurih pada bagian luar kaki naga sebelum pelumuran dengan tepung roti.
8. Pencelupan ke dalam Telur Kocok
Pencelupan untuk memudahkan perekatan tepung roti pada kaki naga. Pelemuran dengan tepung roti, dimaksudkan agar kaki naga terasa lebih renyah, biasanya kaki naga sering dicampur dengan kunir sebagai bahan pewarna dan pengawet alami.
9. Penusukan dengan Sumpit Kayu

Penusukan dengan sumpit kayu merupakan tahapan akhir dari proses pembuatan kaki naga siap saji.
10. Pengemasan

Setelah proses pembuatan kaki naga siap saji, produk di kemas dengan sealer machine

11. Pembekuan
Pembekuan produk dilakukan dalam ruang penyimpanan produk jadi. Pembekuan dilakukan agar batter dan breader lebih melekat produk dan produk menjadi lebih awet.

E. Diagram Alir






















C. Aspek Ekonomi

1. Pemilihan Pola Usaha
Pemilihan usaha kaki naga dilakukan karena bahan baku utama berupa fillet ikan kerapu mudah didapatkan. Sedangkan jumlah permintaan otak-otak dan kaki naga cenderung bertambah tiap tahunnya, sehingga dapat memberikan pemasukan yang konstan. Selain itu teknologi untuk memproduksi kaki naga mudah didapat. Jumlah output kaki naga ditentukan oleh teknologi yang digunakan. Teknologi yang digunakan dalam proses produksi adalah teknologi semi mekanik (penggilingan dengan grinder, pengadonan dengan food processor, penghancuran bumbu dengan blender, perebusan dengan deep fryer, penirisan dengan meja penirisan, pengemasan dengan sealer machine, dan pembekuan dengan mesin pembeku).

2. Komponen dan Struktur Biaya Investasi
Biaya investasi termasuk komponen biaya tetap yang besarnya tidak dipengaruhi oleh jumlah produk yang dihasilkan. Biaya investasi untuk usaha pengolahan ikan ini terdiri dari: biaya perijinan, sewa tanah dan bangunan, serta pembelian mesin/peralatan produksi dan peralatan pendukung lainnya. Jenis, nilai pembelian dan penyusutan dari masing- masing biaya investasi yang dibutuhkan untuk memulai usaha pengolahan ikan ini. Biaya perijinan meliputi ijin usaha yang diperlukan yaitu : Surat Izin Tempat Usaha (SITU), Surat Izin Usaha Pengolahan (SIUP), Izin Usaha Industri, Tanda Daftar Perusahaan (TDP), izin dari Depkes, SPH (Surat Pengolahan Hasil), dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sewa tanah dan bangunan dibayarkan tiap tahun, sehingga setiap tahun harus dikeluarkan biaya untuk komponen biaya sewa. Pada tahun-tahun tertentu dilakukan reinvestasi untuk pembelian mesin atau peralatan produksi yang umur ekonomisnya kurang dari 5 tahun.

3. Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan biaya variabel, sehingga besar kecilnya dipengaruhi oleh jumlah produksi. Komponen dari biaya operasional antara lain: pengadaan bahan baku, bahan pembantu, bahan pendukung, biaya pemasaran, upah tenaga kerja, BOP, peralatan operasional, biaya transportasi, listrik dan telepon, serta upah tenaga kerja.
4. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja
Kebutuhan investasi maupun modal kerja sebenarnya tidak harus dipenuhi sendiri. Jumlah modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha pengolahan ikan. Seluruh kebutuhan dana untuk investasi tersebut berasaldari dana pengusaha sendiri. Hal ini berdasarkan fakta bahwa pada saat dilakukan penelitian di lapangan, tidak ada satupun pengusaha pengolahan ikan yang memperoleh kredit investasi dari lembaga keuangan. Modal kerja para pengusaha pengolahan ini seluruhnya menggunakan dana sendiri. Hal ini ditetapkan berdasarkan kebutuhan dana awal untuk satu kali siklus produksi.

















BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan

Adapun kesimpuran dari makalah ini adalah mudanya proses pembuatan produk ini dan tidak menggunakan banyak waktu.

3.2 Saran
Dari hasi pembahasan maka kami satrankan bahwa pengkajian produk ini tdak hanya sampai tahapan pendiskusian, tapi bagaimana mempraktekanya, agar semua mahasiswa dapat mengetahui keseluruhan proses.

















DAFTAR PUSTAKA


http://www.scribd.com/doc/30549713/PP-kaki-naga
http://mitrasuksesarmani.indonetwork.net/1398567/kaki-naga-ikan-udang.htm
http://resepmasakanmu.com/resep-masakan-kaki-naga.htm
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=4990396&page=8

http://pustakaperikanan.blogspot.com/2012/03/makalah-diversifikasi-perikanan.html
Diakses tanggal 11 Februari 2015 jam 17.58

Abon ikan

PENDAHUALUAN
Latar Belakang
Tingginya tingkat konsumsi produk olahan peternakan merupakan suatu peluang usaha tersendiri untuk dikembangkan. Bergesernya pola konsumsi masyarakat dalam mengkonsumsi produk olahan peternakan, terutama daging, dari mengkonsumsi daging segar menjadi produk olahan siap santap mendorong untuk dikembangkannya teknologi dalam hal pengolahan daging. Banyak cara yang dikembangkan untuk meningkatkan nilai guna dan daya simpan dari dari daging segar seperti diolah menjadi sosis, dendeng dan abon.
Abon merupakan salah satu cara pengolahan daging dengan cara disuwir-suwir dan digoreng. Seiiring dengan berkembangnya teknologi dalam pengolahan daging, daging disuwir-suwir tidak lagi mengunakan tangan tapi menggunakan food prosesor yang lebih efisien dalam hal penggunaan tenaga kerja. Abon adalah olahan daging yang mempunyai cita rasa yang khas karena menggunakan rempah-rempah pilihan sebagai bumbu penyedapnya. Abon dapat memiliki umur simpan yang lama tanpa merubah cita rasa dari abon itu sendiri.  Selain dibuat dari daging sapi dan daging kerbau, abon juga dapat dibuat dari ayam, kambing, domba bahkan dibeberapa tempat abon dibuat dari ikan.
Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui kualitas dan daya suka dari abon yang diolah menggunakan cara tradisional (daging disuwir-suwir mengguanakan tangan) dan dengan cara modern (menggunakan food prosesor untuk mensuwir-suwir daging).
TINJAUAN PUSTAKA
Abon Lele
Abon adalah makanan yang terbuat dari daging yang disuwir atau telah dipisahkan seratnya, kemudian ditambah bumbu dan digoreng. Menurut Sumarsono et al., 2008, penggunaan kantong plastik yang ditutup rapat untuk mengemas abon dapat mempertahankan kualitas selama penyimpanan sehingga  abon dapat disimpan beberapa bulan dalam suhu kamar. Umur simpan abon lele dapat mencapai + 10 minggu dan memiliki rasa yang khas sehingga disukai konsumen.
Proses pembuatan abon melalui proses penggorengan. Selama proses penggorengan terjadi perubahan-perubahan fisikokimiawi baik pada bahan pangan yang digoreng maupun minyak gorengnya. Suhu penggorengan yang lebih tinggi dari pada suhu normal (168-1960C) maka akan menyebabkan degradasi minyak goreng yang berlangsung dengan cepat (antara lain penurunan titik asap). Proses penggorengan pada suhu tinggi dapat mempercepat proses oksidasi. Lemak pada daging dan pada abon sapi dapat menyebabkan terjadinya oksidasi. Hasil pemecahan ikatan rangkap dari asam lemak tidak jenuh adalah asam lemak bebas yang merupakan sumber bau tengik. Adanya antioksidan dalam lemak seperti vitamin E (tokoferol) dapat mengurangi kecepatan proses oksidasi lemak, tetapi dengan adanya prooksidan seperti logam-logam berat (tembaga, besi, kobalt dan mangan) serta logam porfirin seperti pada mioglobin, klorofil, dan enzim lipoksidasi lemak akan dipercepat (Nazieb, 2009).
Bawang Merah
Bawang merah (Allium ceva var. ascalonicum) berfungsi sebagai aroma pada makanan. Senyawa yang menimbulkan aroma pada bawang merah adalah senyawa sulfur yang akan menimbulkan bau jika sel bawang merah mengalami kerusakan (Purnomo, 1997). Bawang merah menurut SNI 01-3159-1992 merupakan umbi lapis yang terdiri dari siung-siung bernas, utuh, segar dan bersih. Bawang merah berfungsi sebagai obat tradisional, karenan mengandung efek antiseptik dari senyawa alliin atau alisin yang akan diubah menjadi asam piruvat, ammonia dan allisin anti mikroba yang bersifat bakterisidia.
Garam
Fungsi garam dalam produk olahan daging adalah sebagai cita rasa, penghambat pertumbuhan mikroorganisme, menigkatkan daya mengikat air selama proses pemasakan, dan dapat mengurangi denaturasi mioglobin pada penambahan 2 g/100 g daging. Garam berfungsi untuk meningkatkan daya simpan, karena dapat menghambat pertumbuhan organism pembusuk. Penambahan garam pada produk kering sebaiknya tidak kurang dari 2%, karena konsentrasi garam yang kurang dari 1,8% akan menyebabkan rendahnya protein yang terlarut (Usmiati dan Priyanti, 2008). Poulanne et al.. (2001) menyatakan bahwa, pemberian garam dapat menjaga keamanan pangan secara mikrobiologi, selain itu garam merupakan bahan penting dalam pengolahan daging, memiliki kontribusi dalam daya ikat air, warna, ikatan lemak dan rasa.
Penambahan garam dapat meningkatkan ion-ion tembaga, mangan dan besi. Ion-ion tersebut berfungsi sebagai katalis dalam reaksi ketengikan. Senyawa-senyawa ketengikan yang terbentuk akan bereaksi dengan asam amino. Reaksi antara ketengikan dan asam amino disebabkan karena adanya ion-ion logam dalam Kristal garam yang dapat membentuk pirazin yang membentuk reaksi lanjutan antara asam amino tertentu dengan ketengikan.
Gula Pasir
Fungsi gula dalam pembuatan abon adalah sebagai penambah cita rasa serta salah satu komponen pembentuk warna  coklat yang diinginkan pada hasil akhir produk abon sapi (Sianturi, 2000). Kandungan gula yang tinggi dapat berperan sebagai penghambat proses oksidasi dan ketengikan, salain itu penambahan gula kedalam bahan pangan dalam konsentrasi yang tinggi akan menurunkan kadar air yang tersedia untuk pertumbuhan miroorganosme dan aktivitas air (aw) dari bahan pangan (Winarno, 1994).
Ketumbar
Ketumbar (Coriandrum sativum linn) banyak digunakan untuk bumbu masak, dalam penggunaan ketumbar dilakukan penggerusan terlebih dahulu. Ketumbar dapat menimbulkan bau sedap dan rasa gurih, komponen lain dari ketumbar adalah 26% lemak, 17% protein, 10% pati, dan 20% gula (Purnomo, 1997).
Lengkuas
Lengkuas mengandung minyak atsiri , senyawa flavonoid, fenol dan trepenoid. Rimpang lengkuas mengandung zat-zat yang dapat menghambat enzim santin oksidase sehingga bersifat antitumor. Minyak atsiri ringpang lengkuas yang mengandung senyawa flavonoid, berfungsi sebagai antioksidan pada proses pembuatan makanan kering. Minyak atsiri pada rimpang lengkuas  dengan konsentrasi 100 ppm dan 1000 ppm aktif menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dengan diameter hambatan sebesar 7 mm dan 9 mm, sedangkan terhadap bakteri S. aureus hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 1000 sebesar 7 mm.
MATERI DAN METODA
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan untuk membuat abon sapi diantaranya pisau, garpu, food prosesor, ulekan, nampan, panci, kompor, penggorengan, alat pemeras minyak, parutan, timbangan.
Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat abon sapi antara lain daging sapi 1 kg, santan 500 ml, gula merah 150 gram, serai 6 batang, ketumbar 10 gram, bawang putih 30 gram, bawang merah 20 gram, merica 8 gram, lengkuas parut 15 gram, daun salam 10 lembar, asam jawa 10 gram dan garam sebanyak 20 gram.
Cara Kerja
Daging direbus dengan menambahkan serai, daun salam dan garam sampai daging menjadi lunak dan mudah diremahkan. Untuk masing-masing metode pembuatan, menggunakan setengah dari berat daging yang sudah direbus. Setelah daging dingin selanjutnya daging diremahkan atau disuwir-suwir menggunakan tangan atau dengan menggunakan garpu untuk metode tradisional dan menggunakan food prosesor untuk metode modern. Haluskan semua bumbu, selanjutnya daging yang sudah disuwir-suwir ditambahkan bumbu, santan dan air kemudian dimasak sampai adonan menjadi seperti bubur. Setelah agar kering, adonan kemudian digoreng sampai berwarna kecoklatan. Untuk menghilangkan minyak, abon yang sudah digoreng diperas untuk menghilangkan minyak sisa penggorengan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 1. Uji hedonik abon sapi
Sampel
Warna
Rasa
Tekstur
penampakan umum
abon tradisional
3,7
3,9
3,6
3,6
abon modern
3,4
3,4
3,5
3,5
Keterangan : 1. Sangat tidak suka
2.  Tidak suka
3.  Netral
4.  Suka
5.  Sangat suka
Tabel 2. Uji mutu hedonik abon sapi
Sampel
Rasa
tekstur
abon tradisional
3,4
2,9
abon modern
3,1
3,7
Keterangan : 1. Sangat manis/kasar
2. Manis/kasar
3. Agak manis/kasar
4. Tidak manis/kasar
5. Sangat tidak manis/kasar
Pembahasan
Berdasarkan dari hasil uji hedonik pada keudua buah jenis abon, ternyata abon yang dibuat dengan metode modern ternyata lebih disukai dari pada abon yang dibuat dengan metode modern. Tekstur abon tradisional yang cendrung lebih kasar dari pada abon modern ternyata lebih disukai. Hal ini dimungkinkan karena penggunaan food prosesor yang membuat serat dari daging terpisah seluruhnya. Warna abon sendiri lebih banyak dipengaruhi oleh seberapa banyak penggunaan gula dan lama penggorengan abon itu sendiri. Umumnya abon yang baik dicirikan dengan warna coklat kekuningan, sehingga abon yang berwarna selain itu kurang disukai.
Kecendrungan rasa abon yang lebih disukai adalah rasa manis yang terjadi akibat penambahan gula pada proses pemasakan. Karena bumbu yang digunakan sama, maka berdasarkan uji hedonik dan uji mutu hedonil tidak terlalu berbeda hasilnya. Penggunaan rempah-rempah dalam pembuatan abon dapat menigkatkan citarasa dari abon yang dibuat. Abon tradisional memiliki nilai yang lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan abon modern, hal ini mungkin disebabkan karena pada waktu pemasakan lebih banyak air yang ditambahkan untuk abon modern dari pada abon tradisional. Secara kenampakan umum, baik abon yang diproses secara modern ataupun secara tradisional bisa diterima oleh masyarakat. Hal ini dicerminkan dengan nilai yang diperoleh dari kedua buah jenis abon yang tidak terlalu signifikan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan pada abon yang dibuat secara tradisional dan modern dapat disimpulkan bahwa secara uji hedonik dan mutu hedonik abon yang dibuat secara tradisional memilki kecendrungan lebih disukai dibandingkan abon yang dibuat secara modern. Untuk pengusahaan pembuataan abon dalam skala besar perlu dipertimbangkan lagi penggunaan metode tradisional terkait dengan efektivitas penggunaan tenaga kerja dan biaya produksi
DAFTAR PUSTAKA
Sumarsono, J, dan H.A Sirajudin. 2008. Penentuan lama sentrifuge minyak abon daging sapi. Makalah Penunjang Seminar Nasional. Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Mataram.
Nazieb, A. 2009. Food Science and Technology. Universitas Negeri Surakartra, Surakarta.
Perdana, A. 2009. Proses Pembuatan Abon Sapi. http://perdanaangga.wordpress.com/2009/06/04proses-pembutan-abon-dan-nugget/ [10 November 2010].
Poulane, E. J., M.H. Rusunen and J. I. Vainionpaa.2001. Combined effects of NaCl and raw meat pH on water-holding in cooked sausage with and without added phosphate. Jurnal of Meat Science 58: 1-7.
Purnomo. 1997. Studi tentang stabilitas protein daging kering dan dendeng selam penyimpanan. Laporan Penelitian. Fakultas peternakan. Universitas Brawijaya, Malang.
Sianturi, R. 2000. Kandungan gizi dan palatabilitas abon daging sapi dengan kacang tanah (Arachis hypogeal linn) sebagai bahan pencampur. Skripsi. Fakultas Peternakan.Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Usmiati , S, dan A. priyanti. 2008. Sifat fisikokimia dan palatabilitas bakso daging kerbau. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
Waturaka, F.Y. 2002. Komposisi kimia dan daya terima abon dari daging sapid an ayam petelur afkir pada cara pemasakan berbeda. Skripsi. FakultasPeternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Winarno, F.G. 1994. Kimia Pangan dan Gizi. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

http://konsultansolokselatan.blogspot.com/ 
diakses tanggal 11 februari 2015 jam 18.03 wib

Rabu, 11 Februari 2015

Pemindangan ikan



pemindangan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar belakang
Ikan tergolong bahan makanan yang mudah sekali busuk oleh sebab itu agar sampai di tangan konsumen masih dalam keadaan baik, diperlukan cara-cara penanganan yang baik,dari sekian banyak upaya manusia untuk mempertahankan mutu ikan yang umum dilakukan adalah pengolahan secara tradisional dari pengawetan hasil ikan yang ditangkap diantaranya teknologi pengawetan ikan dengan cara pemindangan.
Ikan pindang merupakan salah satu hasil olahan yang cukup populer di Indonesia, dalam urutan hasil olahan tradisional menduduki tempat kedua setelah ikan asin. Dilihat dari sudut program peningkatan konsumsi protein masyarakat, ikan pindang mempunyai prospek yang lebih baik dari pada ikan asin. Hal ini mengingat bahwa ikan pindang mempunyai cita-rasa yang lebih lezat dan tidak begitu asin jika dibandingkan dengan ikan asin sehingga dapat dimakan dalam jumlah yang lebih banyak. Kelebihan ikan pindang dan ikan asin ialah ikan pindang merupakan produk yang siap untuk dimakan (ready to eat). Di samping itu juga praktis semua jenis ikan dari berbagai ukuran dapat diolah menjadi ikan pindang. (Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2005)
Dibanding pengolahan ikan asin, pemindangan mempunyai beberapa keuntungan, yaitu: (1) cara pengolahannya sederhana dan tidak memerlukan alat yang mahal, (2) hasilnya berupa produk matang yang dapat langsung dimakan tanpa perlu dimasak terlebih dahulu, (3) rasanya cocok dengan selera masyarakat Indonesia pada umumnya, (4) dapat dimakan dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga sumbangan proteinnya cukup besar bagi perbaikan gizi masyarakat (Astawan, 2004c).
Berbeda dengan pembuat ikan asin walaupun pindang di olah dengan mempergunakan garam namun yang diperoleh hasil yang berbeda karena pada pengolahan pindang selain penggaraman juga dikombinasikan dengan proses pemanasan sehingga produk yang dihasilkan mempunyai karakteristik tersendiri.
Dari segi taknologi pengawetan produk pindang dapat diklasifikasikan sebagai produk setengah awet (semi preserved), dibandingkan dengan ikan segar pindang masih mungkin sampai mencapai pelosok desa, meningat masih kurang tersedianya fasilitas pendingin ikan. Dengan demikian upaya untuk memasyarakatkan makan ikan memperoleh jangkauan yang lebih luas.

1.2.        Tujuan
Tujuan dari observasi mata kuliah teknologi pengolahan hasil perikanan mengenai teknik pemindangan ikan adalah :
1.    Mengetahui proses pengawetan ikan secara tradisional
2.    Mengetahui proses pemindangan badeng
3.    Mengetahui teknik pemindangan dengan bahan baku ikan tongkol, ikan bandeng,  dan ikan layang


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1.   Teknik Pemindangan
Pemindangan adalah pengolahan ikan yang dilakukan dengan cara merebus ikan dalam susana bergaram selama waktu tertentu. Setelah selesai pemasakan, biasanya wadah di mana ikan disusun langsung digunakan sebagai wadah penyimpanan dan pengangkutan untuk dipasarkan.
Berdasarkan cara perebusan ikan dalam suasana bergaram maka teknik penggaraman dapat dibedakan atas 2 kategori yaitu pemindangan garam dan pemindangan air garam.
a.    Pemindangan garam : Pada teknik ini, lapisan ikan yang digarami dengan garam kering, disusun berlapis-lapis di dalam wadah yang terbuat dari plat logam, pendil atau paso tanah (belanja tanah) atau lainnya. Kemudian direbus dalam jangka waktu yang cukup lama (sekitar 4 – 6 jam), cairan perebus kemudian dibuang melalui lubang kecil bagian bawah wadah atau ditiriskan. Pada lapisan atas ditutup dengan selembar kertas dan di atas permukaan kertas ini disebarkan merata selapis garam.
b.    Pemindangan air garam (brine boiling) : teknik ini ikan ditaburi garam disusun diatas keranjang atau rak bambu disebut “naya”. Beberapa naya diisi ikan dan disusun vertikal pada suatu kerangka lalu dicelupkan kedalam air garam mendidih di dalam wadah yang terbuka dan lama pembuatan relatif jauh lebih singkat daripada teknik pemindangan garam. Setelah proses perebusan selesai, wadah di mana ikan tersusun diangkat, kemudian direndam atau disiram dan didinginkan untuk siap didistribusikan dan dipisahkan.

2.2.   Jenis-jenis ikan pindang
Menurut Wibowo (1996), cara pemindangan ikan yang dilakukan  sangat bervariasi tergantung daerah, jenis ikan, dan kebiasaan pengolah. Akibatnya proses dan mutu pindang  yang dihasilkan sangat beragam. Karena itu, dapat dibuat beberapa kelompok ikan pindang berdasarkan proses, wadah yang digunakan, jenis ikan, perlakuan atau bumbu yang ditambahkan, dan daerah asal.
Tabel 1. Pengelompokan Jenis – Jenis Ikan Pindang di Indonesia.
No
Dasar Pengelompokan
Nama dalam Perdagangan
1



2


3


4

5
Proses



Wadah


Jenis ikan


Bumbu

Asal
Pindang cue (perebusan dalam air garam), pindang garam (pemanasan dengan garam dan sedikit air), pindang presto (pemindangan tekanan tinggi, pindang duri lunak).
Pindang naya (pindang cue dengan wadah naya), pindang besek (pindang cue dengan wadah besek), pindang badeng, pindang paso, pindang kendil.
Pindang bandeng, pindang tongkol, pindang kembung, pindang lemuru, pindang tawes, pindang gurami, dan sebagainya.
Pindang memakai bahan tambahan , misalnya kunyit.
Pindang Pekalongan, Pindang Kudus, Pindang Tuban, pindang Muncar dan sebagainya.
Sumber : Wibowo (1996)

2.3.   Cara pengolahan ikan pindang
Beberapa yang sering dilakukan oleh daerah yang membuatnya dikenal dengan cara Bawean, cara Muncar dan Pemindangan Gaya Baru.
a.    Cara bawean :
Alat dan bahan yang harus disediakan adalah pendil atau paso, daun pisang kering dan garam sebanyak 20 – 30% dari berat ikan. Gunakan garam yang kemurniannya tinggi kemudian ikan dicuci bersih setelah dibuang isi perut dan insangnya lalu ditaburi garam secukupnya.
Ikan dimasukkan kedalam pendil diatur berlapis-lapis serapat mungkin. Di antara lapisan diberikan garam,setelah pendil/paso penuh ikan ditambahkan air sampai ikan terendam. Pendil/paso dipanaskan diatas api sampai ikannya masak, yaitu apabila daging dekat ekor dan kepala susah retak-retak, air yang tersisa dikeluarkan. Setelah selesai pendil dibingkus dengan daun jati kemudian diikat supaya tidak pecah selama penyimpanan dan pengangkutan. Pindang bisa tahan sampai 3 bulan dan biasanya pemindangan dilakukan terhadap ikan layang (Decapterus spp) dan ikan Bandeng (Chanos-chanos).
b. Cara muncar :
Caranya beda dengan bawean adalah dalam acara pemasakan yaitu tidak direbus tetapi dikukus diatas tungku khusus,sedangkan tempat yang dipakai bukan pendil/paso tanah, tetapi loko yaitu semacam ayakan dari bambu. Pada pemindangan cara ini harus disediakan loko, peti pemasakan, tungku khusus serta belanga atau wajan besar.
Ikan dicuci bersih,di mana isi perut dan insangnya tidak dibuang, kemudian ikan yang sudah bersih direndam dalam air garam jernih (lk. 25%) selama 15 – 30 menit. Kemudian ikan diatur/dijajar di atas loko sampai penuh dan ditiriskan ditempat teduh sampai kering. Loko/ayakan bambu dimasukkkan ke dalam peti pemasakan sampai penuh,air dimasak dalam belanga sampai mendidih kemudian peti yang berisi loko/ikan diletakkan diatas belanga sehingga uap air menghembus ikan diatasnya.
Setiap 15 menit loko/ayakan bambu yang berisi ikan dibagian teratas dipindahkan ke bagian terbawah dan loko-loko lainnya digeser ke rak atasnya. Ikan sekali-kali dibalik supaya masak merata. Ikan akan masak bila dikukus selam + 1 jam, setelah masak ikan bersama lokonya disimpan dalam rak-rak bambu di tempat yang teduh, dibiarkan semalam sehingga kulit ikan menjadi kering dan mengkilap dan pindang ini bertahan selama 7 – 15 hari.
c. Pemindangan gaya baru
Alat dan bahan yang harus disediakan adalah besek bambu, merang atau daun pisang kering dan garam sebanyak 20 – 50% dari berat ikan. Ikan yang telah dicuci bersih, dilumuri denagn garam dan diatur berlapis-lapis dalam besek yang alasnya sudah diberi merang atau daun pisang kering.
Di atas lapisan merang dan di antara lapisan-lapisan ikan diberi garam, ikan dalam besek dibiarkan selama 1 – 3 jam supaya garam meresap ke dalam daging ikan. Kemudian besek dimasukkan ke dalam belanga yang berisi larutan garam yang mendidih. Setelah + 45 menit besek diangkat dan ditiriskan lalu disimpan. Cara dibandingkan dengan cara Bawea dan Muncar lebih bersih, lebih sedap dan dagingnya lebih padat. Pindang ikan bias tahan sampai 3 bulan.

2.4. Proses pengolahan ikan pindang
Tahap 1 : Penyiangan dan pencucian. Tahapan proses ini adalah mengelompokan ikan berdasar pada jenis, ukuran dan tingakat kesegarannya. Kemudian ikan disiangi dengan membuang sisik, sirip, insang , isi perut dan kotoran lainnya. Kebanyakan pemindang tidak melakukan proses penyiangan ini, karena dianggap pemborosan kerja dan waktu, mengingat ikan toh selanjutnya akan dimasak, juga memperkecil resiko kerusakan karena penyiangan.
Tahap 2 : Penyusunan ikan. Ikan disusun secara teratur ke dalam periuk, untuk menjamin bahwa proses kematangan ikan merata. Periuk yang digunakan terbuat dari tanah liat, disamping untuk meneralisir panas yang terlalu tinggi juga menyebarkan panas secara merata keseluruh bagian. Pada proses ini tidak dilakukan seleksi ikan yang baik dan yang sudah mendekati
Tahap 3 : Penggaraman ikan.  Penggaraman dalam proses pemindangan berfungsi untuk memberikan rasa gurih, menurunkan kadar cairan dalam tubuh ikan, dan mencegah atau menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk maupun organisme lain. Kecepatan penetrasi garam kedalam daging ikan dipengaruhi oleh konsentrasi garam, kemurnian garam, jenis dan ukuran ikan, kadar lemak dan suhu . Garam yang ditaburkan pada ikan banyaknya bergantung pada berat ikan. Kebiasaan masyarakat dalam pemberian garam tanpa ditimbang sesuai dengan berat ikan dan pula kualitas garam yang digunakan tidak terjamin kemurniannya.
Tahap 4 : Perebusan  ikan. Perebusan berfungsi untuk membuat ikan menjadi masak. Pada proses ini api yang digunakan sekitar 600 selama 2 – 12 jam. Lama perebusan ini bergantung pada ukuran ikan yang dipindang.Semakin besar ukurang ikan , semakin lama waktu perebusan . Tanda ikan telah maska pada proses perebusan adalah, terdapat retakan-retakan, terutama pada bagian daging, kepala dan ekor. Untuk melihat apakah ikan sudah masak atau belum, kebiasaan yang dilakukan masyarakat adalah dengan melihat kedalam periuk, dan dengan pijitan tangan pada tubuh ikan, maka dapat dipekirakan apakah ikan tersebut masak atau belum. Sering terjadbahwa ikan yang direbus terlalu masak, sehingga pada saat diangkat ada bagian-bagian yang lepas (ikan tidak utuh lagi).

2.5.   Syarat keberhasilan pemindangan
Keberhasilan proses pemindangan ikan sangat dipengaruhi oleh mutu bahan-bahan yang digunakan dan kondisi lingkungan. Selain ikan, bahan utama pembuatan ikan pindang adalah garam. Bahan – bahan yang akan digunakan harus memenuhi  syarat tertentu agar ikan pindang yang dihasilkan bermutu baik. Syarat- syarat yang harus dipenuhi adalah:
a.    Ikan harus segar :
Meskipun ikan dengan tingkat kesegaran yang berbeda - beda dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan ikan pindang, ikan yang telah membusuk sebaiknya  tidak digunakan. Penggunaan ikan dengan tingkat kesegaran rendah akan menghasilkan produk akhir yang kurang baik (hancur), sehingga harga jual rendah. Selain itu, penggunaan ikan dengan tingkat kesegaran rendah akan menghasilkan ikan pindang yang terlalu asin. Hal ini terjadi karena proses penetrasi garam kedalam daging ikan yang kurang segar berlangsung terlalu cepat (Afrianto dan Liviawaty, 1989)
b.    Mutu garam harus baik.
Selanjutnya Afrianto dan Liviawaty (1989) menyatakan bahwa  mutu garam akan mempengaruhi kecepatan penetrasi garam kedalam tubuh ikan. Kecepatan penetrasi garam kedalam tubuh ikan  sangat tergantung pada kadar NaCl yang dikandungnya. Semakin tinggi kadar NaCl yang dikandung, semakin cepat pula penetrasi berlangsung.

2.6.   Mutu ikan pindang
Ikan pindang yang baik harus memenuhi kriteria tertentu. Cara paling mudah untuk menilai mutu ikan pindang adalah dengan menilai mutu sensorisnya. Minimal empat cara parameter sensoris yang perlu dinilai, yaitu rupa dan warna, bau, rasa, dan tekstur (Wibowo 1996).
Menurut Saleh (2002), ikan pindang yang bermutu baik mempunyai kriteria sebagai berikut:
Tabel 2. Mutu ikan pindang
Parameter
Keterangan
Rupa dan warna
Utuh, bersih, tidak terdapat benda asing, tidak terlihat   endapan lemak atau lainnya. Warna produk spesifik jenis, cemerlang, tidak berkapang dan berlendir.
Bau   
Spesifik jenis produk, bau produk ikan rebus, bau gurih    dan segar.
Rasa 
Gurih spesifik produk, tidak terdapat rasa asin yang berlebihan dan keasinan merata.
Tekstur    
Kompak, padat, spesifik jenis produk, empuk, cukup kering dan tidak basah
.
2.7.  Deskripsi ikan tongkol
Ikan Tongkol adalah jenis ikan pelagis yang merupakan salah satu komoditas utama ekspor Indonesia. Akan tetapi akibat pengelolaan yang kurang baik di beberapa perairan Indonesia, terutama disebabkan minimnya informasi waktu musim tangkap, daerah penangkapan ikan, disamping kendala teknologi tangkapnya itu sendiri, tingkat pemanfaat sumber daya ikan menjadi sangat rendah.



 
Klasifikasi ikan tongkol yaitu sebagai berikut :
Klasifikasi :
Kingdom         : Animalia
Phylum            : Chordata
Sub Phylum     : Vertebrata
Class                : Pisces
Sub Class        : Teleostei
Ordo                : Percomorphi
Family             : Scombridae
Genus              : Euthynnus
Species            : Euthynnus affinis

2.7.1.   Morfologi ikan tongkol
Ikan tongkol masih tergolong pada ikan Scombridae, bentuk tubuh seperti betuto, dengan kulit yang licin .Sirip dada melengkung, ujngnya lurus dan pangkalnya sangat kecil. Ikan tongkol merupakan perenang yang tercepat diantara ikan-ikan laut yang berangka tulang. Sirip-sirip punggung, dubur, perut, dan dada pada pangkalnya mempunyai lekukan pada tubuh, sehingga sirip-sirip ini dapat dilipat masuk kedalam lekukan tersebut, sehingga dapat memperkecil daya gesekan dari air pada waktu ikan tersebut berenang cepat. Dan dibelakang sirip punggung dan sirip dubur terdapat sirip-sirip tambahan yang kecil-kecil yang disebut finlet. (T. Djuhanda, 1981).

2.7.2.   Habitat ikan tongkol
Menurut Soesanto (1979), Ikan Tongkol merupakan salah satu jenis ikan pelagis artinya hidup dilapisan atas dari suatu perairan. Bentuk badanya memanjang yang kedua ujungnya meruncing, mempunyai dua sirip punggung dan 7-8 finlet. Dari bentuk ikan adanya dua sirip punggung dan banyaknya finlet ini menujukan ikan tongkol termasuk jenis ikan perenang cepat.
Ikan tongkol merupakan penghuni hampir seluruh perairan asia. Di indonesia, ikan ini banyak membentuk gerombolan-gerombolan besar terutama di perairan indonesia timur dan samudra Indonesia. Termasuk ikan pelagis perenang cepat sehingga untuk menangkapnya alat yang digunakan harus dioperasikan dengan kecepatan yang memadai (Kriswanto, 1986).
2.8.  Deskripsi ikan bandeng
Bandeng (Chanos chanos Forsskål) adalah ikan pangan populer di Asia Tenggara. Ikan ini merupakan satu-satunya spesies yang masih ada dalam familia Chanidae (bersama enam genus tambahan dilaporkan pernah ada namun sudah punah). Dalam bahasa Bugis dan Makassar dikenal sebagai ikan bolu, dan dalam bahasa Inggris milkfish).
Ikan bandeng memiliki nama latin Chanos chanos, merupakan ikan campuran antara air asin dan air tawar atau payau. Ikan bandeng merupakan ikan laut dengan daerah persebaran yang sangat luas yaitu dari pantai Afrika Timur sampai ke Kepulauan Tua mutu, sebelah timur Tahiti, dan dari Jepang Selatan sampai Australia Utara. Ikan ini biasanya terdapat di daerah Tropika dan Sub Tropika Ikan bandeng  memiliki nama lain yaitu Milkfish.



 
Klasifikasi ikan bandeng yaitu :
Klasifikasi :
Kingdom         : Animalia
Phylum          : Chordata
Sub Phylum     : Vertebrata
Classis             : Pisces
Sub Classis      : Teleostei
Ordo                : Malacopterygii
Familia            : Chanidae
Genus              : Chanos
Spesies            : Chanos chanos



2.8.1.   Jenis-jenis ikan bandeng
Ikan bandeng memiliki dua jenis kelamin yaitu jantan dan betina, bandeng jantan dapat diiketahui dari lubang anusnya yang hanya dua buah dan ukuran badan agak kecil sedangkan bandeng betina memiliki lubang anus tiga buah dan ukuran badan lebih besar dari ikan bandeng jantan.

2.8.2.  Morfologi ikan bandeng
Ikan bandeng Menurut Djuhanda (1981) mempunyai tubuh yang ramping dan ditutupi oleh sisik dengan jari-jari yang lunak. Sirip ekor yang panjang dan bercagak. Mulut sedang dan non protractile dengan posisi mulut satu garis dengan sisi bawah bola mata dan tidak memiliki sungut. Ikan ini memiliki tubuh langsing dengan sirip ekornya bercabang sehingga mampu berenang dengan cepat. Warna tubuhnya putih keperak – perakan. mulut tidak bergerigi sehingga menyukai makanan ganggang biru yang tumbuh di dasar perairan (herbivora)

2.8.3.   Habitat ikan bandeng
Mereka hidup di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan cenderung berkawanan di sekitar pesisir dan pulau-pulau dengan terumbu koral. Ikan yang muda dan baru menetas hidup di laut selama 2–3 minggu, lalu berpindah ke rawa-rawa bakau berair payau, dan kadangkala danau-danau berair asin. Bandeng baru kembali ke laut kalau sudah dewasa dan bisa berkembang biak. Ikan muda (disebut nener) Ikan ini dapat hidup sampai ke pinggiran dan tengah laut kemudian secara kontinyu akan kembali ke perairan dangkal atau tepi pantai untuk bertelur. Ikan bandeng lebih menyenangi perairan dangkal dengan banyak tanaman bakau di sekitarnya.

2.9.   Deskripsi ikan layang (Decapterus spp)
Ikan layang (Decapterus spp) merupakan salah satu komunitas perikanan pelagis kecil yang penting di Indonesia. Ikan yang tergolong suku Carangidae ini bisa hidup bergerombol.

Menurut klasifikasi Bleker dalam Saanin (1968) sistematika ikan layang adalah sebagai berikut :
Klasifikasi :
Kingdom         : Animalia
Phyllum           : Chordata
Kelas               : Pisces
Sub kelas         : Teleostei
Ordo                : Percomorphi
Divisi               : Perciformes
Sub divisi        : Carangi
Familia            : Carangidae
Genus              : Decapterus
Spesies             : Decaptersus russelli

2.9.1.   Jenis ikan layang
Di perairan Indonesia terdapat lima jenis layang yang umum yakni
Decapterus kurroides, Decapterus russelli, Decapterus macrosoma Decapterus layang, dan Decapterus maruadsi (FAO,1974). Dari kelima
jenis ini hanya Decapterus russelli yang mempunyai daerah sebaran yang
luas di Indonesia , sedangkan di Perairan Laut Jawa terdapat dua spesies
yaitu Decapterus macrosoma dan Decapterus ruselli (Widodo ,1988).

2.9.2.    Morfologi ikan layang
Ikan layang biasa (Decapterus russelli), badan memanjang, agak gepeng. Dua sirip punggung.Sirip punggung pertama berjari-jari keras 9 (1 meniarap + 8 biasa), sirip punggung kedua berjari – jari keras 1 dan 30 – 32 lemah. Sirip dubur berjari-jari keras 2 (lepas) dan 1 bergabung dengan 22 – 27 jari sirip lemah. Baik di belakang sirip punggung kedua dan dubur terdapat 1 jari-jari sirip tambahan ( finlet ) termasuk pemakan plankton, diatomae, chaetognatha, copepoda, udangudangan, larva-larva ikan,juga telur-telur ikan teri (Stolephorus sp,).
Hidup di perairan lepas pantai, kadar garam tinggi membentuk gerombolan besar.  Dapat mencapai panjang 30 Cm, umumnya 20 – 25 cm. Warna: biru kehijauan, hijau pupus bagian atas, putih perak bagian bawah. Sirip siripnya abu-abu kekuningan atau kuning pucat.Satu totol hitam terdapat pada tepian atas penutup insang (Ditjen Perikanan,1998)

2.9.3.   Biologi ikan layang
Secara biologi ikan layang merupakan plankton feeder atau pemakan plankton kasar yang terdiri dari organisme pelagis meskipun komposisinya berbeda masing-masing spesies copepoda, diatomae,larva ikan. Sumber daya tersebut bersifat ‘multispecies’ yang saling berinteraksi satu sama lain baik secara biologis ataupun secara teknologis melalui persaingan (competition) dan atau antar hubungan pemangsaan (predatorprey relationship).Secara ekologis sebagian besar populasi ikan pelagis kecil termasuk ikan layang menghuni habitat yang relatif sama, yaitu di permukaan dan membuat gerombolan di perairan lepas pantai , daerah-daerah pantai laut dalam , kadar garam tinggi dan sering tertangkap secara bersama.

2.9.4.   Habitat dan Distribusi ikan layang
Di Laut Jawa sangat dominan dalam hasil tangkapan nelayan mulai dari Pulau Seribu, hingga P.Bawean dan P. Masalembo,Selat Makassar Selat Karimata, Selat Malaka, Laut Flores, Arafuru, Selat Bali. Decapterus ruselli dan Decapterus macrosoma tersebar di perairan tertentu. Tampaknya Decapterus ruselli senang hidup di perairan dangkal seperti Laut Jawa, sedangkan Decapterus macrosoma tersebar di perairan laut seperti di Selat Bali, Perairan Indonesia Timur Laut Banda, Selat Makassar dan Sangihe, Laut Cina Selatan. Decapterus kurroides tergolong ikan yang agak langka antara lain terdapat di Selat Bali, Labuhan dan Pelabuhan Ratu (Jawa Barat). Decapterus maruadsi termasuk ikan layang yang berukuran besar, hidup di laut dalam seperti di Laut Banda tertangkap pada kedalaman 100 meter lebih (Nontji, 2002) .
Ikan layang termasuk jenis ikan perenang cepat, bersifat pelagis,
tidak menetap dan suka bergerombol. Jenis ikan ini tergolong “stenohaline”, hidup di perairan yang berkadar garam tinggi (32 – 34 promil) dan menyenangi perairan jernih. Ikan layang banyak tertangkap di perairan yang berjarak 20 – 30 mil dari pantai. Sedikit informasi yang diketahui tentang migrasi ikan , tetapi ada kecenderungan bahwa pada siang hari gerombolan ikan bergerak ke lapisan air yang lebih dalam dan malam hari kelapisan atas perairan yang lebih. Dilaporkan bahwa ikan ini banyak dijumpai pada kedalaman 45 – 100 meter (Hardenberg dalam Sunarjo ,1990).
Ikan layang meskipun aktif berenang, namun terkadang tidak aktif
pada saat membentuk gerombolan di suatu daerah yang sempit atau disekitar benda-benda terapung.

2.9.5.   Musim Pemijahan Ikan Layang.
Musim pemijahan ikan pelagis kecil di Perairan Laut Jawa relatif panjang tetapi masing-masing individu lama memijah dalam periode singkat. Keberadaan juvenil ikan layang (ukuran kurang dari 12 Cm) hanya terjadi pada bulan Maret sampai Juli. (Atmaja dkk.,2003). Tingkat kematangan gonad ikan layang biasa (D.ruselli) pada tingkat matang (ripe) dijumpai pada bulan April sampai Juni , sedangkan pada tingkat lepas telur (masa istirahat dan menyerupai kantong kosong) terjadi pada bulan sampai Desember . Juvenil kecil telah dijumpai antara bulan Maret sampai Mei antara ukuran 6 Cm. (Widodo,1988).


BAB III
METODOLOGI


3.1.       Waktu dan Tempat
Kegiatan observasi kuliah lapang mata kuliah  teknologi pengolahan hasil perikanan modern dan tradisional mengenai teknik pemindangan ikan dilaksanakan pada hari kamis 1 November 2011 pukul 15.00 sampai pada pukul 17.00 WIB di Kp. Larangan Kec. Kramatwatu Kab. Serang Kel. Harjatani.

3.2.       Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam teknik pemindangan ikan terdiri dari tungku, pisau, ember palstik atau bak air, kuali. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah ikan tongkol, ikan bandeng, ikan layang dan garam.
3.3.    Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah metode observasi lapangan. Metode observasi lapangan yaitu melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap suatu objek penelitian dengan mengikuti aktivitas dari produsen pembuat pindang ketempat produksi.
Dan metode pengumpulan data juga dapat diperoleh dari referensi yang membantu. Pengumpulan data terdiri dari pengumpulan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan mengambil data yang ada di lapangan. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dalam usaha melengkapi data yang ada, yaitu wawancara dan studi pustaka guna menunjang data-data yang didapatkan dari lapangan.
3.4.    Analisis data
 Analisis data yang digunakan dalam observasi teknik pemindangan ikan yaitu dengan mengisi lembar quisioner yang ditujukan kepada produsen dengan cara mewawancarai langsung sebagai narasumber untuk melengkapi data-data yang disajikan dalam quisioner.
BAB IV
HASIL KEGIATAN OBSERVASI

4.1.   Hasil
Hasil yang diperoleh dari observasi mata kuliah teknik pengolahan hasil perikanan modern dan tradisional mengenai teknik pemindangan ikan pada ikan asin pada ikan tongkol, ikan bandeng, dan ikan layang diantaranya sebagai berikut : 
4.1.1.  Awal memulai usaha
  Awalnya bapak Fida I Basri memulai dari berdagang ikan pindang hasil produksi seseorang kepasar pada usia 8 tahun. Selanjutnya pada usia ke 13 tahun pak Fida I Basri  mulai merintis usaha memproduksi ikan pindang yang diantaranya pindang ikan tongkol, ikan bandeng, ikan salem dan ikan layang yang prosesnya dilakukan dirumahnya sendiri bersama keluarga. Dan sampai saat ini usaha pindang ikan tersebut masih berjalan.

4.1.2.  Data pemilik perusahaan/home industry
a.     Nama pemilik                     : Bapak Fida I Basri
b.  Umur                                  : 46 Tahun / 06-09-1963
c.  Alamat rumah                     : Jl. Wali syukur, Link Larngan RT005/002 Desa. Harjatani Kramatwatu
d.  No. HP/Telp                      : 081310886672-087871146257

4.1.3.  Data perusahaan
a. Nama perusahaan         : UD. Mang Ja’i
b. Alamat                    : Kp. Larangan Kec. Kramatwatu Kab. Serang Kel. Harjatani.
c. Tahun memulai        : Tahun 1987
usaha

                       
4.1.4.  Data produksi
Tabel 3. Data produksi
Jenis
Keterangan
Bahan baku
Ikan tongkol, ikan bandeng, ikan layang
Asal bahan baku
Dari Jakarta (Muara baru, muara angke, ancol, dadap)
Harga bahan baku
1 Kg/ Rp. 11.000,00
Jumlah bahan baku(Kg)/produksi
Membeli 1 ton dari Jakarta, dijual    kembali ikan mentah segarnya sebayak 6 kwintal, lalu untuk produksi pembuatan dalam sehari 1 kwintal.
Bahan tambahan
Garam,salam, sereh
Wadah pengolahan
Badeng
Kapasitas produksi
1 kwintal/hari
Harga produk/Kg
Tergantung ukuran ikan
Misal : Rp. 10.000 (Dapat 2,3,5)
Pemasaran
Pasar lama serang

4.1.5. Tahapan pembuatan ikan pindang
Tahap pembuatan pindang ikan pada ikan tongkol, ikan bandeng, dan ikan layang yaitu sebagai berikut :
Cara pembuatan pindang badeng :
1.    Siapkan tempat penyusun ikan berupa badeng yang telah disiapkan. Kemudian masukkan sereh kedalam wadah dan ditutupi dengan anyaman bambu.
2.    Bambu tersebut merupakan lapisan bagian dasar dari badeng. pada alas bagian samping menggunakan kertas semen yang telah dicuci selanjutnya dilapisi kembali dengan daun pisang.
3.    Lakukan penyiangan ikan dengan cara ditekan bagian insang dan perut hingga darah keluar, selanjutnya lakukan pencucian.
4.    Pilih ikan dan pisahkan menurut besar dan ukuran yang sama
5.    Ikan dilapisi dengan kertas dan alasnya dengan daun pisang
6.    Susun ikan dalam tempat badeng secara berlapis-lapis, yang diselang seling dengan lapisan garam. Dalam satu badeng terdapat 6 lapisan susunan ikan.
7.    Susunan ikan :
·      Pada bagian bawah  dasar dari badeng tersebut lapisi dengan kertas dan taburkan garam setebal 2 – 3 cm. Selanjutnya ikan disusun dengan cara diselang-seling diatas lapisan garam. Kemudian dilapisi oleh kertas dan ditaburi garam kembali. Begitu seterusnya sampai kelapisan terakhir
·      Susunan : ikan          kertas          garam
8.    Tutup lapisan teratas dengan koran atau daun pisang yang bersih
9.    Selanjutnya dipanaskan pakai tungku pemanas, selama 2- 3 jam dan . Selama proses pemasakan, air yang berada dalam badeng akan bertambah banyak. Kelebihan air akan dikeluarkan melalui lubang.
10.     Setelah selesai pemanasan kemudian bagian atas dari badeng ditutup dengan kertas atau daun waru lalu di atasnya ditutup dengan garam, kemudian badeng ditutup dengan tampah dan terus diikat dengan kuat
11.     Sebelum dipasarkan simpanlah badeng yang berisi ikan di tempat yang terlindung dengan ventilasi udara yang baik.

4.1.6. Jenis limbah dan pemanfaatan
Jenis limbah yang terdapat dalam proses pembuatan pindang ikan tongkol, ikan bandeng, dan ikan layang tidak dilakukan upaya pemanfaatan hasil limbah yang diperoleh selama selesainya proses pembuatan pindang ikan oleh siprodusen. Limbah yang dihasilkan yaitu berupa air sisa pengukusan biasanya limbah air pengukusan tersebut dibuang saja atau apabila ada yang meminta air perebusan tersebut pa Fida I selalu memberikan.


4.1.7. Kendala usaha
Kendala yang dialami yaitu ketersediaan bahan baku yang terkadang sulit didapati. Dikarenakan faktor sumberdayamanusia serta kondisi alam. Selanjutnya pernah mengalami salah pahan terhadap konsumen yang memakan ikan pindang dengan ditandai dari munculnya alergi pada badan sikonsumen yang disebabkan oleh ikan pindang.

4.2.  Pembahasan
Teknik pemindangan yang dilakukan oleh bapak Fida I Basri yaitu menggunakan pindang badeng dengan bahan baku ikan tongkol, ikan bandeng, ikan layang. Serta kapasitas produksi 1 kwintal/hari. Dengan harga jual tergantung dengan ukuran ikan. Pemasaran pindang badeng hanya ke pasar lokal yaitu pasar lama Serang Banten.
Limbah yang diperoleh dari hasil akhir pembuatan pindang ikan badeng tidak dimanfaatkan dan selama menjalankan produksi pindang badeng kendala yang paling utama yaitu ketersediaan bahan baku.

BAB V
PENUTUP


5.1.  Kesimpulan
Berdasarkan hasil kegiatan observasi mata kuliah teknologi pengolahan hasil perikanan modern dan tradisional mengenai teknik pembutan pemindangan ikan adalah sebagai berikut :
1.    Pemindangan adalah pengolahan ikan yang dilakukan dengan cara merebus ikan dalam susana bergaram selama waktu tertentu. 2 kategori yaitu pemindangan garam dan pemindangan air garam
2.    Teknik pemindangan ikan yang dilakukan yaitu pindang badeng
3.    Bahan baku yang degunakan untuk pemindangan ikan adalah ikan tongkol, ikan bandeng, dan ikan layang
4.    Keberhasilan proses pemindangan ikan sangat dipengaruhi oleh mutu bahan – bahan yang digunakan dan kondisi lingkungan.
           
5.2.  Saran
Proses pemindangan ikan menggunakan air garam perlu dikembangkan dengan cara menyebarkannya kepada masyarakat ke seluruh pelosok daerah yang belum mempraktekannya, mengingat cara pengolahannya yang cukup sederhana, sarana dan prasarana yang dibutuhkanpun tidak mahal, memiliki citarasa yang sesuai selera masyarakat, kandungan gizinya relatif  masih tinggi, hasil akhirnya yang masih menyerupai ikan segar,  dan berbagai keistimewaan lainnya.


DAFTAR PUSTAKA


Adawyah,  2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta
             
          Afrianto dan Liviawaty,1989. Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta

           Bank Indonesia (2008). Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil USAHA PEMINDANGAN IKAN. http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=53610&idrb=49001 (diakses 30 november 2011)

Budiman S (2004). Teknik Pemindangan.Departemen Pendidikan Menengah

    Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan MenengahKejuruan.http://belajar.internetsehat.org/pustaka/pendidikan/materi-kejuruan/pertanian/teknologi-hasil-pertanian-dan perikanan/teknik_pemindangan.pdf (diakses 30 november 2011)

               Ilyas, 1980. Teknologi Pengolahan Pindang. Lembaga Penelitian Teknologi Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta

                  Saleh, 2002. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Pasca Panen Perikanan. Pusat Riset Pengolahan Produk Dan Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan Badan Riset Kelautan Dan Perikanan Departemen Kelautan Dan Perikanan. Jakarta.

Santoso B, 1998. Ikan Pindang. Penebar Swadaya. Jakarta

            Suwamba K (2008). Proses pemindangan Dengan Mempergunakan Garam dengan Konsentrasi yang berbeda. Denpasar http://www.smp-saraswati-dps.sch.id/artikel/3 (diakses 30 november 2011)

Wibowo  S, 1996. Industri Pengolahan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta
Diakses tanggal 11 Februari 2015 pukul 17.43 WIB